Kamis, 31 Mei 2012

Apa Pendidikan Sunjaya

Keluarga Kuwu Sobana dalam mendidik anak lebih menekankan kepada kedisiplinan yang ketat atau bisa disebut disiplin ala militer, sehingga kedisiplinan menjadi tolak ukur berhasil atau tidaknya sang anak. Kuwu Sobana terkenal tegas dan bertanggung jawab dala segala tindakannya.

Sunjaya sekolah di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Beberan dan melanjutkan SMPN tersebut, Sunjaya langsung melanjutkan ke jenjang berikutnya Madrasah Aliyah Negeri Babakan Ciwaringin sambil mesantren di PON PES Miftahul Muta'alimin Babakan Ciwaringin. Keadaan ini menjadi ujian kemandirian Sunjaya remaja, karena berpisah lagi dengan Bapak, Ibu dan Saudara-saudaranya selama mencari ilmu di pesantren. Hal ini membuat Sunjaya kurang begitu dekat hubungannya dengan keluarganya.

Selepas lulus dari MAN Babakan Ciwaringin, Sunjaya melanjutkan kuliah Pada program Diploma III di Universitas Indonesia (UI). Pada masa-masa kuliahpun ujian dan perjuangan yang sangat berat masi selalu mengikuti arahnya, dimana orangtua dan saudara-saudaranya tidak ada yang menyetujui Sunjaya melanjutkan kejenjangkuliah, sehingga Sunjaya harus berjuang sendiri dalam menggapai cita-citanya tanpa dorongan dan bantuan keluarga.

Pertama kali berangkat kuliah Sunjaya hanya bermodalkan niat yang besar dan tulus serta materi yang hanya sebesar Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah) dari hasil penjualan perhiasan kalung dan cincin yang dimiliki ibunya Hj.Sumaeni, yang merasa iba Pada kebesaran jiwanya Sunjaya.

Uang Rp.100.000,- itu digunakan Sunjaya sebagai modal awal pendidikannya, yang dibayarkan untuk uang kiliah satu semester Rp.65.000,- dan untuk kegiatan Orientasi Kampus serta jaket Almamater Rp,25.000,-. Dengan sisa uang Rp.10.000,- Sunjaya tidak mampu mencari kontrakan yang hanya sekedar buat melepas lelah dan mempersiapkan kebutuhan kuliah. Akhirnya Sunjaya mencari tumpangan kamar Pada temannya untuk sekedar beristirahat.

Alhamdulillah berawal dari itu semua Sunjaya mampu menyelesaikan kuliahnya selama 3 (tiga) tahun, walaupun tida satupun keluarga yang hanya sekedar menengok ataupun menanyakan darimana makan dan darimana biaya kuliahnya selama ini. Sampai-sampai pada saat ayahnya (Bapak Kuwu Sobana) meninggal duniapun tidak ada yang memberi tahu. Itu terjadi pada tahun 1985 dan saat itu Sunjaya baru menginjak tingkat II. 

Diwaktu lain Sunjaya mengetahui sebenarnya keluarga Kuwu Sobana sudah berusaha mencari alamat tinggal Sunjaya, namun karena minimnya kabar maka sia-sialah usaha menemukan tempat tinggal dan keadaan Sunjaya tersebut.

Sunjaya berjuang sendiri selama kurun waktu kurang lebih 3 (tiga) tahun untuk dapat menyelesaikan studinya, tentusaja hal ini tidak mudah karena Sunjaya harus berusaha keras mempertahankan dan mengubah hidup walaupun dengan berjualan Koran, menjadi kuli bangunan dan membuka jasa pengetikan untuk teman-temannya, sehingga tidak jarang Sunjaya sering disuru menyelesaikan tugas teman-temannya.

Walaupun hari-harinya selalu dalam kesibukan namun Sunjaya masi bisa aktif dalam Organisasi ekstra dan intra kampus yakni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Resimen Mahasiswa (MENWA). Dengan bermodalkan sebagai anggota MENWA, Sunjaya menyempatkan diri untuk ikut menjadi penjaga gedung bioskop/gedung film dimalam harinya, hal ini dilakukan untuk mencari tambahan uang untuk biaya kuliah.

Pengalaman ini sungguh sangat berat bagi Sunjaya karena tidak ada saudara baik dari kakak adiknya atau paman serta bibinya yang peduli dengan kehidupan Sunjaya dewasa. Pernah pada saat Sunjaya mampirpun tidak ada memperhatikan dan menghormati apalagi mengizinkan sepeda motor dipakainya, bahkan sekedar ongkos keberangkatannya pun tidak diperhatikan. Yang paling menyedihkan dan tidak akan terlupakan seumur hidup pada saat berkunjung dan menginap dirumah saudara iparnya, tidak disangka-sangka baju, pakaian dan buku-buku kuliahnya dibuang di depan rumah tanpa ada kesalahan hanya merasa terganggu dengan kedatangan Sunjaya, hal ini disaksikan oleh kedua saudaranya yang kebetulan baru datang dan ikut membantu memungut buku-buku kuliah dan baju serta pakaian yang berserakan di jalanan. Sunjaya menangis tak henti-hentinya sambil memungut buku-buku kuliah dan pulang ke kostan dengan berjalan kaki sejauh kurang lebih 4 (empat) KM, karena tidak mempunyai cukup uang untuk ongkos naik angkot, sambil berkata dalam hati Sunjaya berdoa... Ya Allah jadikanlah aku orang yang terhormat, dari aku yang miskin, Ya Allah jangankan orang lain, saudara iparku saja tidak menghormatiku. Ya Allah, semoga Engkau mengangkat derajat dan martabatku.................., Amiiin. Dari sinilah Sunjaya berjanji dalam hati untuk tidak pulang sebelum keberhasilan dirinya.

Pada tahun berikutnya Sunjaya diwisuda sebagai tanda lulus kuliah Diplomanya (D3) Pada Universitas Indonesia (UI) dan memberikan kabar gembira ini Pada Orang tua Hj. Sumaeni dan saudara-saudaranya dengan harapan agar bisa menghadiri hari bersejarah anak desa meraih gelar Diploma. Namun kenyataannya tidak ada seorangpun dari keluarganya yang datang menghadiri acara wisuda tersebut dan yang paling menyedihkan Sunjaya saat itu kehabisan dan ketidak adaan dana walau hanya untuk sekedar menebus foto-foto dokumentasi wisudanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar