Apa Pendidikan Sunjaya
Keluarga Kuwu Sobana dalam mendidik
anak lebih menekankan kepada kedisiplinan yang ketat atau bisa disebut
disiplin ala militer, sehingga kedisiplinan menjadi tolak ukur berhasil
atau tidaknya sang anak. Kuwu Sobana terkenal tegas dan bertanggung
jawab dala segala tindakannya.
Sunjaya
sekolah di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Beberan dan melanjutkan SMPN
tersebut, Sunjaya langsung melanjutkan ke jenjang berikutnya Madrasah
Aliyah Negeri Babakan Ciwaringin sambil mesantren di PON PES Miftahul
Muta'alimin Babakan Ciwaringin. Keadaan ini menjadi ujian kemandirian
Sunjaya remaja, karena berpisah lagi dengan Bapak, Ibu dan
Saudara-saudaranya selama mencari ilmu di pesantren. Hal ini membuat
Sunjaya kurang begitu dekat hubungannya dengan keluarganya.
Selepas lulus dari MAN Babakan
Ciwaringin, Sunjaya melanjutkan kuliah Pada program Diploma III di
Universitas Indonesia (UI). Pada masa-masa kuliahpun ujian dan
perjuangan yang sangat berat masi selalu mengikuti arahnya, dimana
orangtua dan saudara-saudaranya tidak ada yang menyetujui Sunjaya
melanjutkan kejenjangkuliah, sehingga Sunjaya harus berjuang sendiri
dalam menggapai cita-citanya tanpa dorongan dan bantuan keluarga.
Pertama kali berangkat kuliah
Sunjaya hanya bermodalkan niat yang besar dan tulus serta materi yang
hanya sebesar Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah) dari hasil penjualan
perhiasan kalung dan cincin yang dimiliki ibunya Hj.Sumaeni, yang merasa
iba Pada kebesaran jiwanya Sunjaya.
Uang Rp.100.000,- itu digunakan
Sunjaya sebagai modal awal pendidikannya, yang dibayarkan untuk uang
kiliah satu semester Rp.65.000,- dan untuk kegiatan Orientasi Kampus
serta jaket Almamater Rp,25.000,-. Dengan sisa uang Rp.10.000,- Sunjaya
tidak mampu mencari kontrakan yang hanya sekedar buat melepas lelah dan
mempersiapkan kebutuhan kuliah. Akhirnya Sunjaya mencari tumpangan kamar
Pada temannya untuk sekedar beristirahat.
Alhamdulillah berawal dari itu
semua Sunjaya mampu menyelesaikan kuliahnya selama 3 (tiga) tahun,
walaupun tida satupun keluarga yang hanya sekedar menengok ataupun
menanyakan darimana makan dan darimana biaya kuliahnya selama ini.
Sampai-sampai pada saat ayahnya (Bapak Kuwu Sobana) meninggal duniapun
tidak ada yang memberi tahu. Itu terjadi pada tahun 1985 dan saat itu
Sunjaya baru menginjak tingkat II.
Diwaktu lain Sunjaya mengetahui
sebenarnya keluarga Kuwu Sobana sudah berusaha mencari alamat tinggal
Sunjaya, namun karena minimnya kabar maka sia-sialah usaha menemukan
tempat tinggal dan keadaan Sunjaya tersebut.
Sunjaya berjuang sendiri selama
kurun waktu kurang lebih 3 (tiga) tahun untuk dapat menyelesaikan
studinya, tentusaja hal ini tidak mudah karena Sunjaya harus berusaha
keras mempertahankan dan mengubah hidup walaupun dengan berjualan Koran,
menjadi kuli bangunan dan membuka jasa pengetikan untuk teman-temannya,
sehingga tidak jarang Sunjaya sering disuru menyelesaikan tugas
teman-temannya.
Walaupun hari-harinya selalu
dalam kesibukan namun Sunjaya masi bisa aktif dalam Organisasi ekstra
dan intra kampus yakni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Resimen
Mahasiswa (MENWA). Dengan bermodalkan sebagai anggota MENWA, Sunjaya
menyempatkan diri untuk ikut menjadi penjaga gedung bioskop/gedung film
dimalam harinya, hal ini dilakukan untuk mencari tambahan uang untuk
biaya kuliah.
Pengalaman
ini sungguh sangat berat bagi Sunjaya karena tidak ada saudara baik
dari kakak adiknya atau paman serta bibinya yang peduli dengan kehidupan
Sunjaya dewasa. Pernah pada saat Sunjaya mampirpun tidak ada
memperhatikan dan menghormati apalagi mengizinkan sepeda motor
dipakainya, bahkan sekedar ongkos keberangkatannya pun tidak
diperhatikan. Yang paling menyedihkan dan tidak akan terlupakan seumur
hidup pada saat berkunjung dan menginap dirumah saudara iparnya, tidak
disangka-sangka baju, pakaian dan buku-buku kuliahnya dibuang di depan
rumah tanpa ada kesalahan hanya merasa terganggu dengan kedatangan
Sunjaya, hal ini disaksikan oleh kedua saudaranya yang kebetulan baru
datang dan ikut membantu memungut buku-buku kuliah dan baju serta
pakaian yang berserakan di jalanan. Sunjaya menangis tak henti-hentinya
sambil memungut buku-buku kuliah dan pulang ke kostan dengan berjalan
kaki sejauh kurang lebih 4 (empat) KM, karena tidak mempunyai cukup uang
untuk ongkos naik angkot, sambil berkata dalam hati Sunjaya berdoa... Ya
Allah jadikanlah aku orang yang terhormat, dari aku yang miskin, Ya
Allah jangankan orang lain, saudara iparku saja tidak menghormatiku. Ya
Allah, semoga Engkau mengangkat derajat dan
martabatku.................., Amiiin. Dari sinilah Sunjaya berjanji dalam hati untuk tidak pulang sebelum keberhasilan dirinya.
Pada tahun berikutnya Sunjaya
diwisuda sebagai tanda lulus kuliah Diplomanya (D3) Pada Universitas
Indonesia (UI) dan memberikan kabar gembira ini Pada Orang tua Hj.
Sumaeni dan saudara-saudaranya dengan harapan agar bisa menghadiri hari
bersejarah anak desa meraih gelar Diploma. Namun kenyataannya tidak ada
seorangpun dari keluarganya yang datang menghadiri acara wisuda tersebut
dan yang paling menyedihkan Sunjaya saat itu kehabisan dan ketidak
adaan dana walau hanya untuk sekedar menebus foto-foto dokumentasi
wisudanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar